Ketentuan mengenai cuti ibadah berawal dari pengaturan
di dalam Pasal 93 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan “UU 13/2003” yang berisi:
“
1)
Upah tidak
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
2)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar
upah apabila:
…
e.
Pekerja/buruh
tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya
…
“
Jadi asal dari pengaturan cuti ibadah berasal dari
pengecualian ketentuan No Work No Pay dalam Pasal 93 ayat (1) yang
mengatur mengenai hak Pengusaha untuk tidak membayar Pekerja/Buruh yang tidak
melakukan pekerjaan. Sebagai pengecualian dari ketentuan No Work No Pay, Pengusaha
dilarang keras untuk tidak membayarkan Upah bagi Pekerja/Buruh yang melakukan
cuti ibadah.
Berbeda dengan cuti-cuti lainnya yang dibatasi, tidak
ada pembatasan hari bagi cuti ibadah dalam UU 13/2003. Sebagai contoh, Pasal 93
ayat (4) melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai jumlah hari maksimal
Pekerja/Buruh dapat mengambil suatu cuti khusus sebagaimana berikut:
“
4)
Upah yang
dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a.
pekerja/buruh
menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.
menikahkan
anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.
mengkhitankan
anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
…
“
Namun untuk cuti ibadah, tidak ada pengaturan mengenai
batasan hari dalam UU 13/2003.
Pengaturan lebih lanjut mengenai cuti ibadah dapat
ditemukan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang
Pengupahan (“PP 36/2021”) yang berisi:
“Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh
yang tidak masuk bekerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan
kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (4) huruf b, sebesar Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh dengan
ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang
bersangkutan.”
Pengaturan dalam Pasal 36/2021 dapat ditafsirkan bahwa
selama Pekerja bekerja di dalam suatu Perusahaan, Perusahaan tersebut hanya
berkewajiban sekali saja membayar Upah Pekerja/Buruh yang mengambil cuti
ibadah.
Lalu apakah berarti Pekerja/Buruh yang telah mengambil
cuti ibadah tidak bisa mengambil cuti ibadah lagi? Jika penafsiran terhadap
Paal 43 PP 36/2021 di atas benar, maka berarti untuk Pekerja/Buruh yang telah
mengambil cuti ibadah di suatu Perusahaan hanya bisa melakukan cuti ibadah
berikutnya melalui jatah cuti tahunan.
Apabila
ada yang ingin
dikonsultasikan lebih lanjut mengenai Cuti
Ibadah dan Hukum
Ketenagakerjaan, anda
dapat berkonsultasi
dengan kami Arzetti Indonesia Lawfirm.